Di Balik Topeng

“Roanna, sebuah nama yang cantik lagi seksi. Sebuah nama pemberian dari majikannya. Tiga tahun yang lalu, Roanna adalah gadis desa yang memiliki harapan besar tentang hidup. Gadis muda yang belum mengenal kehidupan dan mencoba mengenalinya lewat sebuah kesempatan bekerja di luar negeri. Tubuhnya bongsor, umurnya masih 23 tahun saat ia pergi ke sebuah negara ekspor-impor minyak dunia yang gersang.  Aroma gurun pasir membuatnya tidak pernah lupa pada desa kelahirannya yang hijau juga sejuk. Begitu pun ia tidak pernah lupa pada nama aslinya, sampai akhirnya dia kembali ke negara ini dengan cara melarikan diri dari majikannya. Mari panggil saja dia dengan nama Roanna,” begitulah kata-kata pembawa acara membuka suatu talkshow di layar kaca. Memperkenalkanku.

“Bagaimana, Mbak? Coba ceritakan?”

*

Hampir setiap hari rumah ini dipenuhi orang-orang yang membawa tanda tanya sebesar pintu rumahku. Mereka membawa kamera dan mic. Aku tidak mau berkata sedikitpun. Banyak sekali surat undangan ke rumahku, isinya mengiming-iming uang jika aku mau datang ke kantor stasuin TV. Pasti aku ditanya-tanya. Tapi mereka menawarkanku menggunakan topeng. Apakah aku akan terlindungi dengan topeng itu?
Jika melihat acara tersebut di TV, mengapa para korban dengan leluasa menjelaskannya tanpa merasa malu sedikitpun. Aku berbeda dengan mereka. Aku tidak ingin ada seseorang yang tahu bahwa aku telah dilecehkan. Lebih baik aku berbohong toh si bangsat itu pun tidak akan kena hukuman juga kalau aku jujur. Tapi apakah topeng itu dapat membantu seseorang untuk jujur?
 “Ya, kamu harus menjelaskan biar orang itu dihukum.”
“Ahh.. Tak mungkin, wong bangsat itu jauh dari sini. Kameranya itu loh, Mak, malu aku” ujarku.
“Salahmu, Tin. Emak ndak suruh kamu kerja jauh-jauh kesana, di sini bantu emak jualan juga dapat uang, Tin,” ujarnya.
“Aku melakukan hal buruk, tapi tidak sepenuhnya salah. Aku hanya ingin membahagiakan emak, di kampung. Bangsat itu memberiku pekerjaan lebih dengan penghasilan berlipat. Awalnya aku tidak mau, tapi saat diancam, aku bisa berkata apa? Terkenal sudah aku dengan profesi baru sebagai wanita bayaran di negeri seberang sana, Mak.”
“Terserah katamu saja, Tin! Nasi wes jadi bubur. Emak harap kamu datang saja ke stasiun TV itu, yang mengundang dengan uang. Kita butuh uang loh, nah anakmu itu?! Besok lusa bayaran sekolah, naik kelas dia, beli seragam, beli buku, ruwet kamu!!”

*

Aku duduk sambil menunggu panggilan dari balik panggung, ya entah apa namanya, yang jelas akan banyak mata melihatku. Kata orang yang berseragam itu, nanti aku diberi topeng lalu dipanggil, “Nah, saat nama Mbak di sebut, masuklah dan duduk di sofa ya.” Tak lama aku mencoba mengintip, ternyata memang benar sekali, banyak penonton. “Nih, Mbak, pakai topeng ya,” seorang perempuan berseragam sama dengan orang tadi tersenyum manis memberiku topeng.
Sebuah topeng berwarna putih. Aku memandangnya, sesekali membalik melihat raut mukanya yang terlampau sedih. Kedua matanya berlubang dan dilingkari dengan warna hitam. Mulutnya mengerut ke arah bawah, menunjukkan rasa kecewa sekaligus penyesalan   Jadi aku harus mengaitkan ke dua karet ini di telingaku? Setelah itu aku akan menjawab semua pertanyaan dari balik topeng ini. Sebenarnya aku tidak yakin dapat menjawab semua pertanyaan sekalipun topeng ini menempel di wajahku.
Mbak, nih pertanyaannya yang kira-kira akan ditanyakan oleh pembawa acara, nanti,” kata perempuan itu lagi, sambil menyodorkan secarik kertas kepadaku. “Baca dengan baik Mbak, soalnya acaranya live, jangan sampai Mbaknya gak bisa menjawab, atau jika ada pertanyaan yang mengganggu, boleh Mbak bilang kepada saya, biar saya hilangkan saja,” tutupnya sambil melenggang lagi ke arah panggung.
Topeng itu kupegang sambil kulihat terus. Bagian hidungnya sangat mancung, mirip sekali dengan majikanku yang jahat.  Aku mencoba memakai topeng itu, mengaitkan kedua karet di masing-masing tepinya ke telingaku. Kukira ukurannya pas sekali. Mulailah aku membaca deretan pertanyaan yang diberikan perempuan itu. Ada beberapa pertanyaan yang akan sulit kujawab. Aku ingin memanggilnya, namun dia begitu sibuk. Padahal ada pertanyaan yang akan meyulitkanku. Nampaknya aku tidak berhasil memanggilnya sebelum pembawa acara tersebut memanggilku.
“Mari kita panggil seorang TKW yang mengalami pelecehan sebelum akhirnya menjadi PSK, kurang lebih selama tiga tahun.  Roanna, sebuah nama yang cantik lagi seksi,” terdengar suara dari balik tempatku duduk.

*

Mak, aku dipakaikan topeng, katanya.”
Yo wes, aman kalo begitu, sudah datang saja,” saran emak.
“Aku tetap malu, Mak.”
“Malu bagaimana? Itu pemerkosaan, bukan kamu yang minta.”
“Aku tak bisa menceritakannya,” memang tidak mudah mengulangnya lewat lisan, sementara hatiku telah bergambar dengan perlakuan hina ini sepanjang hari.
Loh..kan pakai topeng, memangnya saat itu kamu itu ndak melawan, Tin?”
“ Aku melawan, Mak. Cuma badannya kan besar sekali, aku ndak bisa apa-apa, setelah itu aku diikat lalu dipaksa suruh masukin itu loh ke mulutku, Mak!”
Emak terisak, Tubuhnya berguncang. “Kasihan sekali kamu, Tin.” Aku memeluknya, menyambut tangan emak yang terbuka. “Aku dibekap, diancam, dicengkram kuat sekali,” kali ini aku tak kuasa menangis. Segalanya terbuka lagi.
“Aku dikurung di dalam kamarnya selama dua minggu, orang laknat itu melakukannya berulang-ulang sampai sepuluh kali, Mak,” aku menangis sejadinya.
“Sabar, Tin, semuanya sudah terjadi,” tangan emak mengusap punggungku, seperti menyapu masa lalu itu pergi.
“Tapi aku memperdagangkannya kemudian, Mak. Dosaku, di bagian itu-lah rasa malu ini terletak.”

*

Aku melangkah masuk, naik ke atas panggung lalu duduk di sofa hitam. Wajah-wajah penonton yang baru saja menyelesaikan tepukan tangannya terlihat dari balik topeng ini. Aku menundukkan kepala tak kuasa menahan malu bercampur haru masa lalu. Topeng ini tidak memberikan perlindungan sedikitpun akan rasa malu yang besar ini. Topeng ini justru menjadi mencolok bahwa aku lah sentralisasi dari acara ini.
Pembawa acara yang cantik itu bersiap melontarkan kata. “Perkenalkan saya Marsha, Mbak,” dia memperkenalkan diri sangat singkat, lalu pertanyaannya menyusul, “Bagaimana semuanya terjadi, Mbak? Coba ceritakan?”
Aku terdiam sejenak. Lalu aku mulai bersuara.

*

Pagi itu aku bersiap berangkat. Tak lupa aku berpamitan pada emak, “Aku pergi, Mak, biarlah mereka bertanya apa saja, aku akan menjawabnya.”
“Jawab semampumu, jika kamu tidak mau menjawab ya, tak usah dijawab,”
Emak tak lagi memaksaku pergi ke kantor stasiun TV. Akan tetapi, aku memerlukan uang, biarlah aku ditanya-tanya bila dapat imbalan uang. Menahan malu sedikit tak mengapa, acaranya hanya satu jam. Selesai menghadiri acara itu, aku akan berbelanja kebutuhan sekolah anakku dan membawa oleh-oleh untuk emak.

*

Aku tetap mencoba untuk tidak merasa menjadi orang yang paling terpuruk. Namun sangatlah sulit ketika bayangan masa lalu mengingatkanku bahwa aku yang paling sial dan menderita. Ditambah lagi ketika pembawa acara itu mewawancaraiku. Aku sangat malu ketika dia menanyakan sesuatu yang menurutku tidak layak aku mukhliskan. Setiap pertanyaan itu melontar leluasa seperti peluru lepas dari selongsongnya.
“Apakah mbak tidak melawan?” Katanya.
“Bagaimana orang itu melakukannya,Mbak?”
“Apakah ada trauma setelah kejadian itu, Mbak?” Aku muak sekali.
Tiga puluh menit berlalu, sepertinya topeng ini benar-benar punya kekuatan. Aku mulai berbicara dengar jujur, menjelaskan semuanya. Di balik topeng putih ini aku menumpahkan kenyataan yang tidak pernah aku bayangkan dapat terucap. Aku mulai merasakan topeng ini sebagai wajahku yang baru, menempel begitu saja. Rasanya topeng ini benar merekat diwajahku.
“Saya hanya penasaran dengan penghasilan yang mbak dapatkan dari pelanggan disana?”
“Sekitar 1000 riyal, satu kali main,” jawabku.
“Bagaimana memulai bisnis ini, Mbak? Apakah mbak tidak takut dicambuk?” Tanya Marsha.
“Setelah pelecehan seksual oleh majikan saya, ada beberapa orang yang menghubungi lewat telepon. Saya langsung dijemput dan dibawa ke kota. Tidak, majikan saya menjamin saya, asalkan membayar Riyal per bulan atau dengan tidur bersamanya,” aku menjawabnya dengan mudah dan jujur.
“Dalam sehari bisa mendapat berapa pelanggan, Mbak? Kira-kira sudah berapa lelaki yang...?”

Aku terkejut dengan pertanyaannya, sudah terlalu banyak kejujuran yang aku sampaikan. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab pertanyaan lagi. Dalam deretan daftar pertanyaan yang tadi diberikan, sepertinya pertanyaan sudah habis. Tapi aku akan memberi satu jawaban lagi, tak apa. Sebelumnya ada sesuatu yang harus aku benarkan terlebih dahulu rasanya, rambutku tersangkut di karet yang aku kaitkan di telingaku. Dengan perlahan sekali aku membenarkannya. Tiba-tiba saja wajah putih itu terjatuh, menggelinding ke lantai dan menabrak kaki Marsha. Seluruh penonton tercengang mengikuti wajah Marsha yang kaget. Seluruh sorot kamera berputar menjauhiku. Aku tidak lagi merasa sedang dipandangi banyak mata yang penasaran. Dan aku percaya aku benar-benar membisu tanpa topeng itu.



Devrila Muhamad Indra

Bandung, 21 Desember 2015




Komentar

Postingan Populer