Jalan Panjang Negeri Timor


Jalan panjang terbentang dari kota paling timur di NTT (Nusa Tenggara Timur), Atambua, menuju teras perbatasan NKRI – Timor Leste di Motaain. Ini adalah jalan nasional. Jalan berkelok dari Atambua – Atapupu menuju Motaain ini jadi saksi Referendum 1999 yang berlumur darah.
“Pengalaman tentang darah dan pembunuhan tidak akan pernah saya lupakan,” ucap Denni (35). Ayah lima anak yang berprofesi sebagai tukang ojek ini adalah warga Motabuik, Kecamatan Atambua Selatan. Ia sedang mengantar istrinya, Joka (39), yang merupakan pasien bedah mayor RSA dr. Lie Dharmawan. RSA sandar di Pelabuhan Atapupu, Atambua. Hasil pemeriksaan menunjukkan Joka mengidap tiga tumor sekaligus pada tubuhnya.

Semasa kecil, Denni tinggal di Baucau yang kini jadi kota terbesar di Timor Leste setelah Dili). Ia menghabiskan waktu di Baucau sampai menyelesaikan sekolah menengah atas. Konflik 1999 memaksanya melarikan diri. Jalan panjang inilah yang ia tempuh untuk sampai ke Atambua.
Belasan tahun kemudian, jalan tersebut masih kerap merenjiskan darah dan para pengendara yang melaluinya. Jalan ini dibutuhkan masyarakat untuk mengantar sembako ke wilayah NTT dari Timor Leste atau sebaliknya. Para turis yang ingin bermain ke teras perbatasan Batu Gede pun melalui jalan yang sama, menggunakan bus yang terseok-seok menyusuri kelok jalan.

Tak jarang para penyelundup BBM, minuman keras, dan kayu ilegal melaluinya. Histori korban konflik di jalan ini sungguh mampu memberi kesan mematikan bagi siapapun yang melewatinya. “Dulu di sini adalah tempat pembuangan korban konflik,” kata Haris Panarang, Kanit PolAir Atapupu ketika melintasi jalanan Atambua – Motaain sekitar pantai Atapupu.

Ngebut Pangkal Maut


Meski Polda NTT telah berkoar soal keselamatan dalam berkendara, para pengguna jalan seakan tidak menghiraukannya. Jalan sepi selalu menggairahkan adrenalin pengendara untuk memacu gas sedalam mungkin. “Kasus kecelakan banyak terjadi karena masyarakat lalai,” tutur Kepala Urusan Pembinaan Operasional Lalu Lintas Polres Belu, Leyfirds D. Mada.


Kelalaian ini tak jarang yang berpangkal maut. Harian Pos Kupang memberitakan terjadinya kasus kecelakaan lalu lintas akhir 2015 di jalan Atambua – Atapupu (arah Motaain) yang memakan korban: ayah dan anak tertabrak truk fuso. Masih banyak kasus lainnya dengan rentang waktu berdekatan.
Sebuah portal media daring mengabarkan kecelakaan maut yang melahap korban berumur 15 tahun akibat tabrakanpada akhir Februari 2016 di Jalan Raya Atambua – Motaain, tepatnya di Dusun Berluli, Desa Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak, Belu. Pada 1 – 9 April 2016, menurut Leyfirds, kasus kecelakaan lalu lintas pada 2015 hingga saat ini berjumlah 82 kasus. Dari jumlah tersebut, 20 orang meninggal dunia, 56 orang luka berat, dan 38 orang luka ringan. “Kerugian material sampai 220 juta rupiah lebih,” ucap Leyfirds. Penyuluhan kepolisian setidaknya mengurangi jumlah kecelakaan yang tahun sebelumnya mencapai lebih dari 100 kasus.

Selain kelalaian dan kurang taat etika berlalu lintas, kecelakaan juga tidak lepas dari kebiasaan warga berkendara dalam keadaan mabuk. Kecelakaan lalu lintas akibat mabuk juga menghiasi kasus-kasus kecelakaan dari tahun ke tahun. Dari 82 kasus kecelakaan sepanjang 2015, 15 kasus di antaranya terjadi akibat berkendara saat mabuk.

“Kami sudah peringatkan masyarakat untuk tidak berkendara saat di bawah pengaruh alkohol, mengingat warga di wilayah ini sering mengonsumsi alkohol sebagai bagian dari adat kebiasaan,” papar Leyfirds.

Adat Menenggak Alkohol


Selain laut dan padang rumput yang segar nan indah, perbatasan NKRI – Timor Leste juga punya budaya mabuk dan pesta dansa di tengah masyarakat. Tak heran jika sepulangnya dari perbatasan, para turis akan “mengimpor” minuman dari Timor Leste. Minuman primadona biasanya berasal dari Australia dan Belanda karena menimbulkan reaksi lebih cepat mabuk ketimbang minuman lokal.

Menenggak alkohol sampai mabuk telah jadi budaya, entah bagaimana awalnya.
“Masyarakat di sini memilih minum (mabuk), tidak peduli jika tak ada makan,” kata Nickolas, Polisi Pamong Praja, Kabupaten Belu, Atambua. Budaya minum-minum ini sayangnya kerap memicu perkelahian, bahkan menghasilkan korban.

Kepolisian juga mengamini kebiasaan masyarakat akan konsumsi alkohol yang tidak bijaksana. “Kami lakukan program penyuluhan yang sangat rutin, hampir seminggu sekali,” sambung Leyfirds.
Serampangan ngebut di jalan dan menenggak alkohol tanpa kendali diri menandakan jalan panjang mewujudkan masyarakat Timor yang sehat, aman, dan sejahtera. Darah yang tertumpah akibat konflik masa lalu mestinya tak perlu lebih banyak tumpah sia-sia karena dua kebiasaan ini. Masih banyak persoalan lain yang perlu segera dibenahi, misalnya layanan kesehatan sehingga orang-orang seperti Denni dan Joka tak perlu lagi berpeluh cari dokter.

Komentar

Postingan Populer