Nyanyian Haru di Balik Pegunungan
Perjalanan mengunjungi pegunungan Papua, video oleh Ifan Dwiyana
Hempasan angin dari baling-baling helikopter menyapa daun-daun yang seharusnya bersitabik menjadi berangasan. Kitiran tersebut memecah angin dan mendamparkankannya ke wajah masyarakat yang mengelilingi pendaratan kami. Pandangan seluruh anggota tim Flying Doctors (FD) doctorSHARE menjelajah mengelilingi lembah yang dikelilingi bukit-bukit. Seorang lelaki datang menghampiri pintu helikopter, dia menggunakan koteka (pakaian adat Papua), hidungnya bertindik dengan paruh burung cendrawasih menghiasi lubang tindik tersebut. Ia berjabat tangan dengan tim dan menginstruksikan para pemuda dan anak-anak untuk membantu kami membawa perbekalan dan peralatan medis menuju bangunan gereja. Beliau adalah Ketua Suku Desa Matadi. Semua desa memiliki ketua suku, dan ketua suku yang menghampiri kami ke pintu helikopter dengan mata berkaca-kaca adalah Nanias, kepala suku Desa Matadi.
Lokasi pelayanan FD kali ini adalah salah satu desa di Distrik Biandoga. Ada beberapa desa seperti Etamani, Bominatadi, Mayapo, Dimpa, Didiwoi, Baidotadi, Lempabiru, Dabuga, dan Wadambabutu. Seluruh desa tersebut masuk kedalam wilayah Distrik Biandoga, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Setelah itu, saya dan tim FD doctorSHARE menyampaikan maksud kedatangan dibantu oleh penerjemah, walaupun sebenarnya tim sudah mengirimkan orang untuk menyebar kabar bahwa akan dilakukan kegiatan pelayanan medis kepada masyarakat di seluruh Distrik Biandoga, sebelum kami tiba. Tapi hal ini harus dilakukan untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Nyanyian ini berjudul Menetawa Emo i…iaia Waeo, artinya adalah ‘Di Belakang Gunung Tidak Ada Kemajuan.’ Saya sendiri bingung bagaimana menerjemahkannya secara kata demi kata dengan meminta penjelasan kepada mereka yang bernyanyi. Karena mereka tidak dapat berbahasa Indonesia. Kami juga membawa penerjemah, sialnya penerjemah kami dari Suku Moni sementara yang dinyanyikan mengandung Bahasa Walani (Bahasa Masyarakat Distrik Biandoga, Suku Walani). Untungnya nyanyian ini juga mengandung beberapa Bahasa Moni (Bahasa Suku Moni,masyarakatnya banyak tinggal di daerah Intan Jaya, Distrik Homeyo).
“Secara garis besar masyarakat mengatakan hal yang jujur mengenai keadaan desanya, dan saya sangat terharu,” ucap Abniel, Tim lokal FD yang biasa membantu kami ketika melakukan kegiatan di Pegunungan Papua.
Abniel juga menangis dan beberapa kali mengusap air matanya dengan kaos putih yang beliau pakai. Jika diartikan secara keseluruhan maka artinya adalah, masyarakat merasa heran didatangi tamu dari jauh (Jakarta), karena selama ini masyarakat hanya menganggap diri sebagai anak yatim piatu yang tidak diperdulikan. Abniel juga mengatakan, masyarakat bertanya kepada kami untuk apa jauh-jauh datang kesini? Ke pegunungan ini? Di sini hanya ada rumput, bebatuan, dan kayu (batang-bantang pohon). ketika itu, saya percaya bahwa hati benar-benar masih menempel ditubuh saya dan berfungsi. Karena apa? Karena saya juga terharu melihat mereka menangis, walaupun saya sama sekali tidak mengerti dengan arti nyanyian tersebut. Hal-hal seperti ini yang saya maksud bahwa saya benar-benar banyak diberi sesuatu oleh ‘Papua.’
Pelayanan Medis Flying Doctors doctorSHARE dilakukan pada tanggal 7 - 12 September 2017 di Desa Matadi, Distrik Biandoga, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Kami ber-tujuh: dr. Herliana Yusuf, Ifan Dwiyana, Abdul Khodir, dr. Adrian, dr Debby, Ruth Ogetay dan saya. Menurut partner lokal kami (tenaga yang biasa membantu menerjemahkan dalam pelayanan medis FD), sangat jarang sekali ada warga Intan Jaya yang berkunjung kesana. Keadaanya yang tidak dapat diakses dengan kendaraan darat, bahkan pesawat cessna dan twin otter-pun tidak bisa. Satu-satunya hanya menggunakan Helikopter, kecuali bersedia berjalan kaki selama dua minggu lebih dari Nabire.
Sebelum kami berangkat ke Biandoga, Ketua DPRD Intan Jaya, Marten Tipagau, menjelaskan bahwa keadaan Desa Matadi, sangat kurang akses kesehatan. Hal ini disebabkan karena sulitnya akses pencapaian menuju kesana. Beliau juga meng-amin-i bahwa pihak pemda-pun kesulitan untuk kesana dan mengirim tenaga medis.
“Distrik Biandoga ini sangat sulit akses transportasi, bahkan oleh kami pemerintah daerah,” ujarnya.
Desa Matadi, adalah salah satu desa di Distrik Biandoga. Desa ini memiliki satu bangunan gereja kayu, beberapa honai dan satu kamar mandi tidak permanen (kamar mandi yang hanya ditutup daun dan tanahnya digali). Sungguh keadaan seperti ini jarang saya temui di FD sebelumnya. Tidak ada listrik sudah jelas, tidak ada sinyal sudah pasti, tapi tidak ada MCK permanen dan hanya satu bangunan gereja sederhana dari kayu (beralaskan tanah), rasanya saya baru mengalami.
Tidak ada puskesmas di Matadi. Dari data kemenkes Republik Indonesia mengenai profil kesehatan tahun 2015, ada 9.754 unit puskesmas yang tersebar. Namun tidak saya temukan di sini. Mungkin ada, di Desa sebelah, Distrik Sebelah, Kabupaten Sebelah, tetapi apakah tenaga medisnya ada? Obat-obatannya ada? Saya yakin tidak semudah itu berobat di pegunungan ini. Di Pulau Jawa, laju pertumbuhan puskesmas masih jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk dan menurut penghitungan secara nasional, Indonesia hanya memiliki rasio dokter sebanyak 16 orang per 100.000 penduduk. Apa kabar dengan Biandoga yang terhalang pegunungan?
Data profil kesehatan 2015 juga menunjukan rasio puskesmas per 30.000 penduduk. Datanya mencengangkan, Provinsi Papua Barat, Papua, dan Maluku ada di posisi tiga teratas. Kenapa? Ah, saya ingat selama saya mengunjungi wilayah ini, memang terdapat puskesmas di beberapa desa. Namun berlumut dan dihuni serangga, kadal, katak, dan banyak lagi makhluk selain dokter dan perawat. Data ini sama sekali tidak menunjukan kondisi yang sebenarnya. Jumlah penduduk di tiga provinsi tersebut jelas lebih sedikit dari provinsi lain sedangkan wilayahnya begitu luas dan aksesibilitas masyarakat maupun tenaga medis untuk menggapai akses kesehatan tidaklah semudah provinsi lain.
Masyarakat Desa Matadi, melahirkan anak mereka secara mandiri. Beberapa Mama mengakui hanya menungging di samping Honai. Timotius Galipa, memperagakan bagaimana perempuan di Desanya ketika melahirkan. Ini adalah sebuah fenomena memilukan, bukan saja bagi si ibu yang melahirkan. Tapi bagi bangsa ini. Indonesia. Lalu nyanyian yang disajikan kepada kami adalah sebuah bentuk dari ratapan, rengekan, bahkan teriakan yang tidak dapat jua menembus lembah di pegunungan tempat pemukiman mereka.
Mantappp
BalasHapusPesan untuk pemerintah dan segenap masyarakat..
BalasHapus