Hane Zambaya

Kematian pasti meninggalkan kesedihan bagi tiap orang yang ditinggalkan. Seperih apapun ditinggal orang tersayang (orang tua, adik, kakak, kekasih), tak dapat membuat mereka kembali. Doa dan harapan didasarkan bukan untuk menghidupkan kembali orang yang telah meninggal namun sebagai upaya memohon keselamatan, keikhlasan, dan kedamaian – terutama bagi yang masih hidup dan menerima rasa pahit.

Suku Moni di Distrik Wandai, Kabupaten Intan Jaya, Papua memiliki tradisi yang unik untuk meluapkan rasa kecewa atas kehilangan anggota keluarga yang meninggal dunia. Tradisi tersebut biasa disebut Hane Zambaya atau potong jari. “Tujuannya untuk membuat arwah tetap tinggal di honai (rumah adat masyarakat Papua) sampai luka jari tersebut sembuh,” ungkap Derek (30) seorang warga Distrik Wandai.

Hane Zambaya dilakukan seorang diri. Orang yang ditinggal keluarganya karena meninggal dunia akan langsung memotong jarinya setelah pemakaman selesai. Hane Zambaya berlaku bagi semua jari kecuali ibu jari. Biasanya mereka memotong dua ruas jari.

Prosesi pemotongan jari dilakukan menggunakan parang, kampak atau benda tajam lainnya, beralaskan batu atau kayu. Tradisi ini bukan saja dilakukan Suku Moni akan tetapi Suku Dani di Papua. Masyarakat pegunungan tengah Papua biasa melakukan hal ini sejak lama. “Orang yang memotong jari akan menangis tersedu-sedu saat pemotongan berlangsung,” jelas Kepala Distrik Wandai, Lukas Zagani.

Setelah jari terputus, biasanya masyarakat akan melakukan pengobatan secara tradisional. Obat yang dianggap manjur adalah daun ogaogah, dagohoga dan bogeogah. “Setiap tiga hari mereka harus mengganti daun. Luka akan kering di hari kesembilan,” ujar Derek.

Secara medis tentu saja ini adalah kebiasaan yang terbilang ekstrem. Unik memang, hanya saja berakibat pada pengurangan daya cengkram yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. “Jika jari-jari dipotong tentu saja akan mengurangi fungsi tangan,” papar dr. Rizky Amaliah, Sp.B, relawan medis doctorSHARE.

Jari adalah anggota tubuh yang sangat penting. Dalam kasus yang mengharuskan amputasi tangan atau jari, pihak medis berulang kali mencari cara agar kelak tidak mempersulit pasien menjalani kehidupan pasca operasi. “Sejauh ini belum ada jari atau tangan palsu (robotik) yang dapat mendekati fungsi sebenarnya,” ujar dokter berdarah Sunda tersebut.

Selain Hane Zambaya, masyarakat pegunungan tengah Papua miliki kebiasaan lain. Kebiasaan ini adalahmenyayat anggota tubuh; kening, tangan, paha, dan lainnya. Mereka meyakini darah kotor dalam tubuh harus dikeluarkan saat mengidap penyakit.

Petrus (43 tahun), seorang warga Distrik Wandai, menyayat pelipisnya karena sakit kepala. Bekas luka nampak di sudut pelipis kiri dan kanan. Jika sakit kepala lagi-lagi menyergap, sayatan akan kembali dilakukan di tempat yang sama. “Sakit kepala langsung hilang,” jelas Petrus mantap.
Sayatan juga berlaku bagi penyakit lain seperti pilek, sakit mata, tumor (bengkak), hingga dipatuk ular. Bahkan anak yang menangis terus menerus pun akan disayat karena warga memandangnya sebagai penyakit yang perlu diobati.

Junaedi, S.Kep, relawan medis doctorSHARE, menjelaskan bahwa sayatan adalah upaya memunculkan peradangan. Peradangan atau inflamasi merupakan cara tubuh menyembuhkan diri. Saat penyayatan dilakukan, tubuh pun mengalami peradangan ulang terus menerus. “Logisnya, rasa sakit kepala hilang dan diganti oleh rasa sakit akibat sayatan yang mungkin sudah familiar rasanya bagi mereka,” imbuh perawat bedah senior tersebut.

Menurut Lukas Zagani, ritual Hane Zambaya sudah tidak boleh dilakukan lagi sejak tahun 2000. Pemerintah Daerah melarangnya. Masuknya agama menjadi faktor yang memperkuat larangan tersebut. Namun, metode penyembuhan lewat sayatan masih berlangsung hingga kini.
Masyarakat pegunungan Papua mampu bertahan melawan penyakit dengan caranya sendiri. Hane Zambaya adalah pengalihan rasa sakit khas Papua yang mungkin saja tidak akan dilakukan seandainyaada layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai.

Komentar

Postingan Populer