Museum

Di Museum itu
Bukankah kau yang menjaga jarak pandang dariku,
sehingga aku salah meletakkan senyummu yang manis?
Aku tak dapat mengenangnya lebih lama.

Padahal Aku telah membakar masa laluku,
tepat ketika para gelandangan memeluk sepedanya sambil tertidur. Ingat?
Ya di Kota Tua. Pada malam itu. Di keremangan Ibukota.
Egoku runtuh beterbangan tersapu lampu-lampu yang paling redup.

Melupakan anggur dan rasa mabuk oleh cintamu.
Sesulit kau melupakan arwah masalalu di lantunan tawa.
Tidak pas dan memuakkan.

Biarkan Aku berubah bentuk menjadi benda arkais.
Yang pernah berkeinginan sekeras batu untuk membuka hatimu

Jadi maafkan warna kelam pada malam itu.
Ah sudahlah. Tuhan tidak pernah hadir di Museum.
Bahkan, Bulan yang indahpun bersembunyi.
Malah gerimis yang pilu hadir untukku.

Tapi aku tetap mencintaimu.
Sungguh! Hanya saja menjijikannya, senjataku hanya doa-doa yang tumpul.
Aku tak dapat menggambar doa-doa itu, Sayang.
Maka lihat seberapa rapuhnya gedung-gedung tua yang kita lewati.
Di Museum dengan udara malam yang lembab mengusir kita yang tersesat sekejam waktu mengubah malam itu menjelma kenangan.


Vila
Jakarta, 14 April 2017

Komentar

Postingan Populer