Bumi Saat Ini
Planet Biru atau biasa disebut bumi terbentuk sekitar 4.5 Miliar tahun yang lalu. Bumi adalah tempat tinggal bagi jutaan makhluk hidup. Planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dan lima planet kerdil yang ada dalam tata surya. Dengan umurnya yang tidak dapat dikatakan muda, bumi melakukan hal yang terbaik bagi kelangsungan hidup makhluk secara global.
Layaknya manusia, bumi saat ini sedang mengidap berbagai penyakit. Banjir, tanah longsor, dan krisis air bersih merupakan contoh - contoh bencana alam yang seringkali dipandang terjadi atas adanya intervensi manusia. Kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan manusia atas segala kerusakan yang ada di bumi. Karena, aktivitas alam juga dapat mempengaruhi kerusakan bumi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan manusia telah menyebabkan berbagai penyakit bagi bumi. Contoh kecil, 80% sampah dilautan berasal dari daratan, dan hampir 90% adalah plastik. Seperti yang kita ketahui, plastik adalah sampah yang sangat sulit terurai. Dibutuhkan waktu puluhan bahkan ribuan tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah secara terdekomposisi atau terurai dengan sempurna. Pertanyaannya, siapa yang membuat sampah di bumi ini?, tentu manusia. Tidak ada makhluk lain di bumi yang menghasilkan sampah selain manusia. Hanya manusia yang menikmati fungsi dari plastik.
Masalah lain yang datang dari manusia adalah penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara), sehingga jumlah gas rumah kaca di atmosfer melonjak. Bumi mengalami peningkatan panas lebih dari 20% selama beberapa dekade. Belum lagi dihasilkan dari asap kendaraan yang sehari – hari digunakan oleh manusia. Aktivitas manusia menggunakan bahan bakar fosil dalam kehidupan, menyebabkan kadar karbondioksida (CO2) di atmosfer terus meningkat sehingga melampaui kemampuan tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Keadaan ini menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim, dan tentu berimbas pada rusaknya ekosistem.
Saat ini bumi tentu mengalami banyak perubahan yang disebabkan oleh manusia. Manusia adalah makhluk pintar yang mampu memajukan peradaban dengan pesat sejak dia menginjakkan kaki di bumi. Sumber energi dan bahan tambang pun menjadi urgensi kebutuhan bagi perkembangan peradaban manusia. Menurut catatan Energy Information Administration USA, manusia menghabiskan minyak sekitar 450 triliun liter dalam 100 tahun terakhir. Berarti, sudah 300 triliun ton yang disedot dari perut bumi. Jumlah batu bara yang dihabiskan oleh manusia dalam 100 tahun terakhir mencapai jumlah 550 miliar ton dan 7.500 triliun cub feet gas bumi. Volume yang hilang tidak dapat kembali. Seperti yang kita ketahui, minyak bumi jumlahnya terbatas. Dapat diperkirakan semua ini akan mendatangkan bencana yang diakibatkan dari kosongnya isi perut bumi.
Kemajuan dunia industri melengkapi kerusakan wajah bumi dengan dibuangnya limbah kimia ke laut dan sungai lengkap dengan asap – asap hitam yang mengepul dicerobong pabrik. Pencemaran limbah dan asap memastikan kualitas air dan udara menurun. Lalu diperjelas dengan penebangan serta pembakaran hutan yang berpotensi longsor dan banjir.
Kasus terbaru di Indonesia mengenai pembakaran hutan gambut seluas 10.000 hektar lebih di Pekanbaru, Riau. Bukan pertama kalinya, kebakaran hutan terjadi di provinsi ini. Akibat pembakaran hutan tersebut, Riau diselimuti kabut asap yang tebal. Kurang lebih 49 ribu orang menderita masalah pernapasan. Berdasarkan data Satgas Tanggap Darurat Asap, indeks standar pencemaran udara yang terpantau mencapai 500 PSI (Pollutant Standar Indeks) atau di atas 300 PSI yang berarti berada pada level "Berbahaya" . Padahal menurut Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup, udara dapat dinyatakan layak konsumsi atau dalam kategori baik jika alat ISPU menunjukkan angka di bawah 50 psi.
Kasus ini tentu bukan berasal dari gejala alam yang menyebabkan hutan terbakar dengan sendirinya. Dapat dipastikan bahwa fenomena ini terjadi akibat ulah manusia yang tidak mengerti akan lingkungan atau segelintir orang yang hanya mementingan kebutuhan pribadi tanpa memikirkan dampak yang dilakukannya. Banyak sekali kerugian yang dihasilkan dari kasus pembakaran hutan di Riau. Kerugian pertama adalah terjadinya bencana kabut asap yang berakibat buruk bagi pernafasan rakyat yang berkaitan dengan kesehatan. Sejumlah warga terpaksa di rawat di rumah sakit karena mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Kerugian lainnya adalah terganggunya transportasi dan aktivitas ekonomi yang diperkirakan sampai pada jumlah 10 triliun rupiah. Jika kita jumlahkan dari masalah kerusakan hayati, kegiatan pendidikan yang terhenti, pencemaran karbondioksida yang berakibat pada kesehatan, tentu kerugiannya akan lebih besar lagi. Terakhir adalah kerugian bagi bumi, Kebakaran hutan mengakibatkan emisi karbon yang berlebih dan berpotensi pada penipisan lapisan ozon.
Alam semesta diserahkan Tuhan kepada Manusia untuk dijaga, dirawat dengan penuh kasih sayang, dinikmati keindahannya, diambil sumberdayanya untuk kelangsungan hidup manusia, bukan berarti di eksploitasi. Terkadang untuk urusannya sendiri, manusia tidak pernah mau mengerti. Manusia hanya mementingkan urgensi emosi yang secara lahiriah sudah melekat. Bahkan, manusia bisa memutar kata ataupun menyalahkan keadaan yang terjadi untuk menutupi kesalahannya (defensif). Cara itu yang sejak dulu mampu me-legitimasi manusia untuk seenaknya merusak alam.
Sudah banyak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat operasional perusahaan-perusahaan yang hanya mementingkan keuntungan bisnisnya tanpa mau mempedulikan lingkungan. Seharusnya, mereka sadar dalam menjaga keseimbangan ekosistem atau melalui inovasi-inovasi produksi yang ramah lingkungan. Bukan hanya menelanjangi kekayaan Bumi. Padahal, merusak alam sekitar berarti juga merusak diri sendiri, karena manusia adalah bagian dari bumi.
Bumi telah berbaik hati memberi ruang bagi manusia. Membiarkan manusia bergerak bebas sesuka hatinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekalipun manusia menyakiti bumi untuk kepentingan pribadinya. Manusia berlindung dari batang – batang pohon yang dirangkai sedemikian indah untuk menjaganya tetap hangat tanpa diguyur hujan saat terbaring tidur dimalam yang dingin. Pohon tinggi ditumbangkan, dikuliti, dimutilasi tanpa sadar bahwa pohon – pohon ini memberi arti kehidupan bagi ekosistem disekitarnya. Padahal, sebagai kolegial yang baik, pohon – pohon ini memberikan oksigen yang langsung dihirup oleh manusia.
Disisi lain, manusia giat meneriakan kata “Reboisasi” untuk bisa menebang lebih banyak lagi. Tanpa pernah sadar bahwa semua yang dilakukan adalah deviasi yang sangat jelas. Kita boleh mempergunakan sumber daya alam namun secukupnya. Seperti pribahasa “Jika kamu menginginkan satu maka jangan mengambil dua, karena dua akan melenyapkanmu,” akibatnya kota yang dihuni mengalami kebanjiran saat hujan deras, tanah longsor menimpa pemukiman penduduk. Ironis.
Penanggulangan yang dapat dilakukan dapat dimulai dengan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah dapat menyusun strategi dan kebijakan untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim, melakukan pengembangan program – program yang berhubungan dengan penghematan energi secara efisien dan pemanfaatan bahan bakar yang ramah lingkungan. Ada baiknya jika penanaman kesadaran akan lingkungan diterapkan pada masyarakat mulai dari sekolah dasar. Pemerintah juga jangan pernah merasa lelah untuk terus mengingatkan masyarakat akan pentingnya merawat Bumi lewat regulasi yang jelas dan tegas.
Masyarakat dapat melakukan penghematan energi dan pemanfaatan bahan bakar sebagai cara awal untuk ber-rekonsiliasi dengan alam. Misalnya, menggurangi konsumsi listrik melalui lampu hemat energi, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, bersepeda atau berjalan kaki untuk jarak yang tidak terlalu jauh, mengurangi penggunaan plastik dan menanam pohon didaerah sekitar tempat tinggal.
Beginilah keadaan bumi sekarang. Bila diibaratkan, bumi sedang mengalami masalah komplikasi. Melalui tulisan ini, diharapkan kita semua dapat memahami gejala dan cara menangani penyakit komplikasi pada bumi. Membentuk kepedulian kita terhadap rumah, tempat tinggal, dan lingkungan hidup kita. Apa yang terjadi pada bumi sekarang, seharusnya menjadi titik refleksi yang berharga untuk segera melakukan penyembuhan. Kita semua harus terlibat langsung untuk merawat Bumi, menciptakan eskalasi persahabatan yang lebih baik dengan bumi. Ingatlah generasi selanjutnya masih membutuhkan bumi yang sehat.
Selamat Hari bumi 2014
(Tulisan untuk Majalah SAPHARA KAPPA Fikom Unpad Tahun 2014)
Komentar
Posting Komentar