SALSABILA

Devrila Muhamad Indra
Suaranya lantang sekali, sehingga membuat para penonton gemetar. Ada ratusan orang yang memandang mata kelabu itu. Terkadang mata kelabu itu juga terlihat tajam kala mulut diwajahnya menyebutkan kata-kata kritik. Mata kelabu itu berkonvensi dengan mulutnya yang mungil. Jari-jarinya meraba huruf braille dengan lentiknya. Deklamasinya selalu mengalir dengan deras dan memercikkan bunga api di telinga semua orang.
http://suginugi.blogspot.co.id/2013/09/filosofi-dalam-seni-gambar-ilustrasi.html

Bulu kuduk mengembang ketika ia mulai membacakan bait-bait sajaknya. Tubuhnya yang tinggi itu mampu dijangkau mata hingga kursi paling belakang dalam ruangan ini. Lidahnya piawai menggarami kata dari tangannya yang giat meraba-raba. Berlembar kertas braille berhamburan setelah ia mengubahnya menjadi suara lantang, lembar demi lembar. Seakan lupa, bahwa semalaman ia harus bermuktamar bersama reglet ditangannya. Jelas sekali aku mengenalnya. sangat mengenalnya.
“Kupikir aku tengah sekarat, kurasakan hawa dingin mendekat dan segala yang tersisa dari hidupku hanyalah kehadiranmu!” Sambil menyimpan  tangan kanannya di dada ia menutup kelopak mata, sehingga kelabu itu hilang. Lalu kepalanya merunduk, rambut panjangnya jatuh menutupi wajahnya, mulutnya meneruskan kalimat, “ Rumah transparan yang kita bangun demi hidup bersama, hanya bening matamu tegak melawan kepunahan.”
Sama sekali aku tidak menyangka akan melihatnya lagi sedang berdeklamasi. Hanya beberapa hari saja aku di kota ini. Belum selesai urusan bisnisku, urusan lamaku sudah minta dibereskan. Pantas perasaanku tak tenang hingga akhirnya masuk ke gedung seni tanpa sengaja. Dan aku menemukannya disini. Menemukan masa laluku yang selama lima tahun aku coba untuk membungkusnya dengan tembok tinggi tak terlihat, namun ketebalannya mampu kurasakan.
*
Suatu pagi, Salsabila merasa ada kilatan masuk kedalam matanya. Ia mencoba tenang, namun seketika saja ada tirai hitam yang menutup seluruh penglihatannya. Mendapati dirinya yang buta, Salsabila terus berteriak. Ia terkaget dan segera mencari cahaya, namun tak pernah ia temukan lagi. Bibirnya berteriak memanggil seseorang. Tidak ada yang mendengarnya sekalipun seluruh isi kamarnya ia porakporandakan menimbulkan suara bising seisi rumah. Pada hari itu, Ia gagal berangkat ke sekolah.
Ayah dan Ibunya seorang pengusaha yang memiliki toko di . Setiap hari Salsabila ditinggalkan sendirian dirumah, karena kesibukan kedua orang tuanya tersebut. Sebelum Salsabila berangkat ke sekolah, mereka sudah pergi.  
Ayah dan Ibunya yang mengetahui kejadian itu sepulang dari toko, langsung membawanya menuju rumah sakit. Mengeluarkan lagi mobilnya dan melaju secepat mungkin untuk menyelamatkan anaknya. Ibunya menangis tak henti sambil memeluk tubuh Salsabila yang mungil dengan seragam sekolah yang masih menempel ditubuhnya.
“Glaukoma,” Kata dokter.
“Apa itu dokter?” Ayahnya mendadak kaget.
            “Saraf optik matanya mengalami kerusakan akibat tekanan cairan di dalam matanya meningkat.”
“Apakah bisa sembuh dokter?” Ibunya tergesa bertanya.
“Kami akan melakukan terapi laser atau bahkan operasi. Mengenai glaukoma memang sulit untuk diobati, namun kami akan mencobanya, Pak, Bu.”
            “Dokter, Apa ini turunan? Mendiang Ayah saya memiliki penyakit yang sama dan buta pada umur 50 tahun?” Tanya Ayahnya.
            “Bisa jadi, terlebih bagi orang yang memiliki diabetes, gejalanya bisa tidak terasa, penderita tiba-tiba buta sebelum sempat melakukan pemeriksaan medis.”
            Tangis mereka pecah seketika. Salsabila harus mengalami perawatan di rumah sakit. Ibunya menemaninya sambil tak henti menangis, sementara ayahnya pulang untuk membawa beberapa pakaian Salsabila. Di perjalanan pulang, ayahnya mengalami kecelakaan, hingga meninggal dunia. Kejadiannya diduga bahwa ayahnya mengalami hal yang sama dengan Salsabila, Glaukoma. Hanya itu yang aku tahu dari cerita hidup Salsabila.
*
            Aku mengenangnya.     
            Sastra menjadi daya tariknya sejak kecil, Sajak-sajak dari penyair yang terkenal-pun kerap ia bacakan dalam perlombaan antar kelas atau bahkan antar sekolah dasar dan berlanjut hingga kini. Ia juga menulis beberapa cerpen yang salah satunya berhasil menjuarai sayembara. Semenjak ketidak mampuannya melihat, ia tidak pernah menulis cerpen lagi. Sampai akhirnya ia mengenalku, seorang teman yang memiliki kesamaan menyukai sastra.
            Aku menghadiahinya sebuah reglet lengkap. Ia tertawa bahagia karena mulai saat itu bisa menulis cerpen lagi. “Terimakasih Andy, kau begitu baik dan pengertian,” ujarnya. Senyumnya timbul saat memuji sambil memeluk hadiahku. ”Mulai saat ini, menulislah lagi,” aku berpesan.
            Tapi malam itu, adalah malam dimana perasaanku menjadi aneh kepadanya. Malam dimana ia benar-benar membenciku. Sebuah malam yang seharusnya menjadi malam yang indah untuknya. Salsabila.
            Hujan menggenangi kota, aku berjalan menggandeng tangannya menuju mobil. Ku buka pintu mobil, memastikannya duduk dengan nyaman dan bergegas menuju pintu supir. Salsabila terlihat senang sekali atas pertunjukkannya malam itu. Banyak tepuk tangan dan pujian untuknya. Aku ikut senang melihat matanya yang menurutku lebih serupa warna biru ketika ia bahagia, tetapi memang terkadang terlihat kelabu saat bersedih.
            “Oh ya, Apa kabar dengan ibu?”
            “Dia baik-baik saja, hanya sesekali sering menangisiku, aku tidak suka ditangisi,” reaksinya. “Bagaimana dengan Ayahmu? Apakah mungkin dia mau menerimaku dengan keadaanku yang seperti ini?” Ia mengalihkan pembicaraan.
            “Aku tidak peduli, aku mencintaimu dan dia tidak harus melarangku lagi.”
            “Berkunjung kerumahmu itu membuatku tegang, aku belum siap jika kau tidak memaksaku.”
            “Sudahlah,” Aku menutup obrolan ini sambil terus mengemudi menuju rumahku.
            Orangtuaku tidak pernah setuju dengan hubunganku ini. Ibuku meninggal sepuluh tahun lalu. Ayahku yang membesarkanku hingga sekarang. Tapi, jika ayahku tidak setuju dengan hubunganku hanya karena Salsabila seorang tunanetra, aku sama sekali tidak setuju. Banyak yang harus aku tunjukan kepada ayah. Akan kuperlihatkan betapa cantiknya Salsabila, tanpa sebuah penglihatanpun dia mampu menarik hatiku untuk mencintainya lewat hatinya yang baik dan tulus.
            “Kamu seorang Deklamator?” Tegur ayah, kepadanya, ketika kita berdua bersiap duduk di ruang makan. Wajah ayah yg kecut membuatku memberi isyarat kepadanya dengan menurunkan kedua alisku. Salsabila tidak dapat melihat wajah ayah, tapi mungkin Ia mampu  merasakannya.
            “Keluargamu tinggal dimana?”
            “Di Bantul, aku hidup dengan ibuku, ayahku sudah meninggal,” tangkisnya begitu cepat. Ayah memperhatikannya dengan muka benci seakan menganggapnya tidak penting. “Aku bisa memperlihatkan keluargaku, tunggu!” Ia melanjutkannya lagi, tangannya menyabet tas yang ada di kursi sebelah, mengambil dompetnya dan mencari-cari foto keluarga yang ada didalamnya.
            Aku tidak tega melihatnya. Ia ingin menunjukkan kepada ayahku bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik. Jemarinya masuk ke sela-sela dompet mencari foto, yang sudah aku lihat ketika ia mulai membuka dompetnya. Maka aku membantunya mengeluarkan foto tersebut dan memberikannya pada ayahku sambil melemparkan isyarat kedua dengan memberi tanda lewat tanganku yang kuangkat mengartikan kata’cukup’.
            “Pergi dari sini!” Ayah tiba-tiba mengerang.
            “Maksudmu apa?” Aku membentaknya.
            “Pergi,pergi!Pergi!”
            Aku sama sekali tidak mau berdebat dengan ayah. Salsabila berlari dan terjatuh, lalu meraba-raba tembok di dekatnya. Aku menarik lengannya, membantunya berdiri dan kuajak keluar untuk kuantar pulang. Segeralah kita bermobil menuju rumah Salsabila. Ia bergeming selama diperjalanan.
            Sesampainya aku langsung mengantarnya menuju daun pintu. Ibunya membukakan pintu, ia menyongsong tubuh ibunya dan menangis. “Apa yang terjadi Andy?”
            Pertanyaannya membuatku tergeming sejenak. Dengan ragu aku menceritakannya. Sementara  Salsabila masih tetap menangis dibalik mata yang kini terlihat putih kehitam-hitaman. Aku merasa bersalah atas tingkah ayahku. “Bisa aku melihat foto ayah atau ibumu, Andy?” Aku mengangguk, mengeluarkan ponsel, memperlihatkannya. Kali ini Ibunya yang mematung. Memejamkan matanya perlahan, lalu berkata, “Aku pernah melihat mayat almarhumah ibumu, dia meninggal tertabrak oleh almarhum ayahnya Salsabila.”
Semenjak kejadian itu, aku sama sekali tidak pernah menemuinya lagi. Selain alasan mengenai ayahku yang membenci almarhum ayahnya Salsabila karena menabrak ibuku sepuluh tahun lalu, aku juga merasa malu atas perlakuan ayahku kepadanya. Aku mencoba mengubur perasaanku kepadanya. Namun, ia tak pernah tergantikan. Aku mencoba mendatangi rumahnya, tapi ia tidak pernah mau menemuiku. Sampai pada akhirnya aku mendapat kabar bahwa Salsabila dan Ibunya pindah ke Bandung, untuk menetap dengan keluarga besarnya.
*
Ia berusaha turun dari panggung. Menengadahkan mukanya, bukan sombong, hanya berharap matanya dapat menyerap sedikit cahaya, namun tidak pernah lagi. Aku segera berlari kearahnya, menyudahi tepuk tanganku atas penampilannya tadi. Menggenggam lagi tangannya, membantunya, setelah sekian lama tidak menjumpainya.
            “Yang terakhir tadi itu Pablo Neruda kan?” Tanyaku sembari memandunya menuruni tangga.
            “Iya, Benar,” kau mengetahuinya?”
            “Tentu saja, aku kira kamu tidak akan membacakannya.”
            “Aku suka yang itu, tapi puisi di buku Brailleku habis, aku harus membuatnya lagi.”
            “Yah, nanti, aku akan cari puisi-puisi bagus dan kubuat huruf Braille-nya,atau mau aku ambilkan kertas-kertas berserakan itu?”
            “Jangan! Itu bagian dari panggung, bagian dari penampilanku,” tukasnya. Aku tak kuasa lagi untuk memeluknya. Ku dekap erat tubuhnya, mungkin ia merasa aneh sehingga mendorongku. Lalu ia berlari dan tersungkur. Salsabila tidak dapat melihatku, tapi mungkin dia merasakannya. Tubuhku mematung memandanginya meraba-raba lantai, panik, dan berteriak minta tolong.


Komentar

Postingan Populer