My Way

#1
Sorot lampu kereta menjelah mata di stasiun Kiara Condong Bandung. Terang dan menyilaukan mata saat saya harus kembali mengangkat ransel. Semuanya sudah saya siapkan sejak beberapa bulan yang lalu bersama teman seperjalanan saya Dhanang David Aritonang. Saat inilah sebuah perjalanan panjang akan segera dimulai. Disamping Dhanang, saya juga diantar oleh kedua kakak saya yang sama – sama bernaung di bawah atap organisasi yang bernama Klub Aktivis Pegiat dan Pemerhati Alam yang disingkat KAPPA. Sebuah organisasi yang berdiri di Fakultas ilmu komunikasi Universitas Padjajaran, Jatinangor. Inipun menjadi alasan kuat mengapa saya melakukan perjalanan menuju Lombok untuk mendaki gunung Rinjani. Tujuan Utama saya adalah untuk melakukan pengembaraan, suatu tahap dimana anggota harus melakukan perjalanan independen agar bisa naik tingkat selain itu, gunung Rinjani juga sudah menjadi target perjalanan saya sejak lama.

Pukul 20.00 WIB, Kini saya sedang berdiri disamping gerbong kereta yang siap saya tunggangi. Setelah melakukan serangkaian ritual organisasi seperti, Upacara keberangkatan, Perijinan dll. Sekarang, Di stasiun kereta Kiara Condong, Bandung. Saya biarkan ransel ini memeluk erat tubuh saya dari belakang, sambil menapaki kaki masuk kedalam gerbong. Cek Point pertama adalah kota Yogjakarta. Ada banyak kekhawatiran di dalam hati saya ketika harus meninggalkan keluarga besar KAPPA yang pada saat itu saya baru dimandatkan menjadi ketua umum KAPPA DP XIII. Tapi inilah perjalanan yang luar biasa dan harus saya lakukan guna memenuhi persyaratan menjadi anggota Madya KAPPA. Ditengah pikiran dan halusinasi saya menerawang jauh. Kereta ini terus menapaki setapaknya menuju surga, surga dimana gunung para pendaki mendambakan gunung Rinjani yang terkenal dengan pesona alamnya yang asri sekaligus gunung tertinggi ke- 2 di Indonesia.
“that right, All my bags are packed, Iam ready to go”
Leaving on the Jetplane, John Denver

Dari jeritannya saya tahu kereta ini sudah tidak muda lagi. Pundaknya seakan bergetar kelelahan yang sedang menopang beribu nyawa bahagia, sedih, kecewa didalamnya. Saya yang duduk di samping jendela, kini sibuk membuka dunia pada kertas A3. melakukan penelusuran.
Terkadang hati saya berkata "sampaikah saya kesana?",
"Ini berapa lama lagi?".
Kata - kata itu seakan tidak luput membayangi pikiran saya karena memang ketika peta ini dibuka semuanya seakan jauh sekali dan bukan tidak mungkin saya terhenti di tengah jalan karena sesuatu yang tidak diharapkan. Sesaat kemudian saya merasa mata ini mulai berat dan berulang -ulang terjatuh di lantai kelopak mata. Mungkin karena kemarin malam saya sedikit sibuk mengurusi keberangkatan ini dan tidur larut malam. Tukang jajanan seperti Tahu, gorengan, sampai nasi bungkus menjadi simfoni lagu tidur untuk saya. Baru saja memejamkan mata beberapa menit saudara saya Adit, memanggil tukang asongan yang sedang asik mencari celah untuk melewati penumpang yang berdiri diantara kursi.
"Berapa?" ujarnya saat ingin membeli sebungkus buah Strawberi dari tangan pedagang itu.
"lima ribu rupiah de " jawab tukang asongan itu dengan nada antusias tinggi.
"sseeeettt Muahal buangeett" Adit merespon kata - katanya.

Yah begitulah saudara saya Aditya Mardiansyah jika membeli sesuatu, terkadang kita sebagai teman perjalanannya yang tidak bisa menahan malu pada pembeli lain yang sedang ikut mengantri juga hhhe. Akhirnya dengan menurunkan nada gairah tinggi pedagang itu berkata.
" yaaah maunya berapa de, saya kurangin deh", tanpa belas kasihan Adit langsung menembak sasaran dengan harga
" Okkeee lima ribu dua pak" dengan nada bersemangat.
hhaha.... Subhanalloh sekali orang ini saya kira, ketika menawar harga. Bagaimana tidak Subhanalloh, harga satunya lima ribu rupiah tapi dia tawar 50% dari harga yang ditawarkan. Entah bapak penjual ini lelah atau sudah malas sekali melakukan negosiasi kelas mafia yang ditawarkan adit akhirnya bapak penjual ini dengan iklas memberikan dua bungkus strawberi ditangannya sambil mengambil uang kertas lima ribu rupiah dari tangan Adit.
"thanks yooo" kata saudara saya yang berasal dari pulau Sumatera Jambi ini.
Lain hal dengan Adit, saudara saya Dhanang masih sibuk dengan mp3 player yang terdapat dalam handphonenya. Sepertinya malam ini di penuhi dengan lagu - lagu yang sudah dia set playlistnya sebelum naik kereta Kahuripan jurusan Bandung - Solo ini. Bosan, saya melihat sekeliling saya, semua orang tertidur termasuk teman perjalanan saya satu lagi yang sejak tadi belum saya ceritakan. Dia bernama Haffiyan. Seorang keturunan Arab yang bersikeras mengaku ngaku sebagai keturunan perancis. Padahal dari gestur dan bentuk muka sudah jelas jauh berbeda antara orang Arab dan Perancis.
Ketika tidak ada lagi yang menarik, pasti buah merah yang tadi dibeli yang menjadi menarik, beberapa buah strawberi masuk kedalam perut saya yang sudah diisi nasi warteg didepan stasiun, sebelum naik kereta. Sambil pandangan saya tetap fokus melihat keluar jendela kereta, melihat rumah - rumah warga pinggiran rel. Rasanya saya harus menulis didalam pikiran saya membayangkan betapa bisingnya kereta ini bila didengar dari dalam rumah - rumah itu, jelas saja isinya adalah keluarga keluarga kecil yang sedang bersiap untuk tidur. Sambil menyalakan satu batang rokok saya teringat akan hal yang saya tinggalkan di rumah yaitu, Seorang Ayah dan istrinya beserta dua anak laki - lakinya sedang berdoa mendoakan anak pertamanya yang sedang melakukan perjalanan menuju Lombok, yah itu saya. Jutaan doa dari mereka dapat saya rasakan dari gaya penulisan sms ataupun messeger dari handphone saya.
Pukul lima pagi hari kira - kira kami terbangun dan melihat ke luar jendela ternyata matahari sudah datang dan berdiri menyambut kami untuk bersiap mengambil peralatan. Di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta kami akan  transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi untuk selanjutnya diteruskan dengan kapal laut menuju Bali.

Besi Tua Berlari

Matahari pagi ini terlalu sombong ketika membangunkan kami yang sedang tertidur didalam persegi panjang berderet yang rapuh berisi ribuan nyawa. Rupanya besi tua ini telah berhenti berlari. Kami sampai di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Jutaan mata yang bersemangat pagi itu memangdangi kami yang sibuk menurunkan ransel – ransel yang terlihat padat. Tanpa berpikir panjang saya langsung memesan tiket lanjutan menuju banyuwangi. Kami semua mulai berhitung untuk mengeluarkan uang transportasi kereta menuju banyuwangi, dengan nama kereta “Sri Tanjung”.
Tak bisa saya pungkiri pagi ini saya sedang terpana memandangi sebuah kios kecil tempat makan, di depan stasiun Lempuyangan.
“makan dulu yuu” Adit yang mengusung usulan pertama.
“ayo, dahar heula” Haffiyan menunjukkan respon positif.
“oke hayu!!” saya juga meng-iyakan,
karena memang perut saya mulai melakukan panggilan misscall sedari malam tadi. Selain itu tidak jadi masalah jika kita sarapan dulu disini, kita juga sedang menunggu kereta yang diperkirakan tiba satu jam lagi.
Akhirnya kami melangkah bersama menuju tempat makan....
Dengan beberapa langkah saja kami sampai di tempat makan tersebut, lengkap dengan hidangan yang menanti untuk dipesan. Pada pagi hari, tempat makan yang berderet didepan stasiun Lempuyangan, memang selalu hangat dengan perbincangan pagi para pengunjung yang sarapan ataupun hanya memesan satu atau dua gelas kopi dan teh. Tapi beginilah ciri khas kota ini, kota yang memegang teguh tradisi dan budaya jawa-nya yang kental. Tak heran jika kota ini memiliki sebutan “daerah istimewa” walaupun pemerintah Indonesia pernah bermaksud menghapus kata “daerah istimewa” untuk kota ini, tapi dengan semangat kesatuan para warga Yogja berkumpul untuk mempertahankan nama itu dan mengutarakan sikap tidak setuju. Sampai pada akhirnya Yogya tetaplah menjadi daerah istimewa. Yah..,istimewa. Saya kira memang sangat pantas, kota ini memang istimewa.
Disebuah kios kecil ini kami sarapan, merencanakan perjalanan selanjutnya, menceritakan kemarin malam dan segalanya. Porsi makan yang tidak kami sadari bertambah dari biasanya, karena memang lelah mungkin hhe. Setelah selesai makan saya memesan satu gelas jumbo teh hangat, lalu menyalakan lagi sebatang rokok dan bersantai di meja makan. Didepan saya ada seorang bapak yang wajahnya sangat ceria, dia berbincang dan tertawa dengan temannya. Tak lama bapak itu menyapa sekaligus bertanya pada saya.
“dari mana de?” tanya dia.
“kami dari Bandung pak” jawab saya.
“oohh mau kemana?mahasiswa ya?” pertanyaan dilontarkan lagi.
“kami mau menuju Lombok, yah mahasiswa Unpad pa”.. jawab saya.
Lama kami berbincang, membicarakan kota Yogja kesayangannya, membicarakan perjalanannya dan bencana Gunung Merapi yang belum lama terjadi saat itu. Tak terasa kereta “Sri Tanjung” telah tiba.
“ayo de, itu keretanya sudah tiba” ujarnya mengingatkan.
“oh itu pak? Klo begitu kami pamit pergi” kami mengucapkan kata perpisahan pagi itu.
Kami segera mengangkat ransel yang sedari tadi disandarkan dipohon dekat tempat makan tersebut lalu bergegas masuk ke stasiun dan mencari nomor kursi yang tertera pada tiket kereta. Lain hal dengan kereta yang kami tunggangi dari stasiun Kiara Condong menuju Lempuyangan, kereta ini lebih sesak dan padat. Kami berempat duduk terbagi dua. Adit dan Fiyyan duduk satu kursi tepat membelakangi kursi saya dan Dhanang. Seperti biasa, mp3 dari sang Disc Jockey Dhanang Aritonang sudah menyala di telinganya dan matanya menjelajah keluar jendela kereta. Tag team penikmat mimpipun mulai memutar rol Filmnya, yah sapa lagi klo bukan kakak – kakak saya terhormat, Aditya Mardiansyah dan Haffiyan.
Kereta ini terus berjalan tanpa hambatan dengan kecepatan maksimal, tapi yang namanya kereta ekonomi pasti berhenti di setiap stasiun baik besar maupun kecil. Salah satu stasiun yang membuat kami jengkel menunggu hingga bermandi keringat adalah ketika kereta ini berhenti di stasiun Gubeng, Surabaya. Bayangkan saja, dengan keadaan penumpang yang terus berbondong - bondong masuk ke dalam kereta, kami harus menunggu kurang lebih dua jam sampai kereta kembali berjalan. Wajah kecewa, wajah meringis kepanasan, itu yang saya lihat ditengah ketatnya persaingan memperebutkan oksigen siang ini.
Saat rasa putus asa semua penumpang sampai diujung kepala. Akhirnya Kereta ini kembali menjerit....
“tuuuuttttt”..
“krasskkkkk”...
Suara tanda kemenangan, rasa lega dan rasa merdeka rakyat Indonesia saat Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi hehe, saya kira sama dengan apa yang dirasakan kami sekarang saat mendengar suara jeritan kereta ini. Setelah lama menunggu kembalilah kini sang “Sri Tanjung” berlari sprint menuju Banyuwangi bersamaan, berkejaran dengan harapan dan tujuan kami ber-empat.
Hari mulai gelap, isi penumpang kereta ini juga sudah tidak sepadat tadi siang. Saya yang langsung memanjatkan syukur saat saya tersadar bahwa saya baru saja terbangun dari tidur, karena memang saya merasa lebih sulit untuk tidur dibandingkan dengan ketiga teman seperjalanan saya. Kali ini karena penumpang sudah banyak yang turun distasiun sebelumnya, kami lebih leluasa memilih kursi. Jadi, kami bisa sangat nyaman rebahan di kursi kosong yang kami pilih sesuka hati.
Ada satu tokoh lagi yang hampir saya lupa untuk diceritakan. Sejak kami naik kereta ini, kami berkenalan dengan seorang pemuda asal Medan yang berkuliah disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Namanya Tony. Katanya dia akan melakukan perjalanan menuju Denpasar, Bali. Dengan tujuan menemui teman baiknya yang menjanjikan sebuah pekerjaan di penangkaran lumba-lumba di pulau Dewata. Sosoknya yang tinggi dan besar saat dia menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan saya, hampir membuat saya kaget. Tapi ternyata dengan sifat humorisnya, membuat saya bisa berdiskusi panjang dengannya. Walaupun saat itu gaya bicaranya lebih dilapisi setiap masalah hidup pribadinya. Tapi saya menyadari posisinya sebagai mahasiswa abadi yang telah delapan tahun belum juga lulus. Dia menceritakan keluarganya di Medan yang sudah mendesaknya untuk segera pulang kampung. Dari semua kata –katanya saya tahu dia sedang melarikan diri dari masalahnya, oleh sebab itu dia rela berdesak-desakan didalam kereta ini guna mencapai Bali dan mendapat pekerjaan.

Saat kereta ini mulai sepi, hanya suara roda besi yang bergulir cepat diatas lintasan baja. Kami sibuk berdiskusi membicarakan banyak hal, dari mulai cara tidur yang baik sampai cara memimpin negara. Suasana ini yang selalu saya rindukan hingga sekarang. Seorang bapak asal Banyuwangi, yang tidak saya tahu namanya. Menjadi pemimpin forum diskusi yang dihadiri oleh kami ber-empat dan seorang cowok tambun asal medan, yang sedang galau.
“Sini de, gabung bareng kita ngobrol” sapa bapak tersebut kepada saya yang sudah lebih dulu berdiskusi.
“iya pak, sebentar..hehe” jawab saya.
“sini tak beliin kopi de” ajakannya semakin menarik.
“oh iya-iya” jawab saya bersemangat.
Satu gelas kopi disodorkan kepada saya. Dari situlah kita berdiskusi masalah kopi dan cara menikmatinya. Obrolan belum berakhir sampai membahas kopi yang dipercaya dapat menahan ngantuk. Sampai membahas gaya tidur, membahas gaya anak muda sekarang, membahas tempat rekreasi, sampai masalah politik negara. Kami tertawa lepas mengalahkan rasa lelah kami. Semua letih perjalanan serasa hilang. Serasa berenang di kolam motivasi. Semangat kami semakin terbakar, seiiring bintang yang terang mengintip dari jendela gerbong kereta.

“Sometimes it's hard to keep on running
we work so much to keep it going
don't make me want to give up”
Running, No doubt

Bersambung...

Komentar

Postingan Populer